Cara Menerbikan Buku Bacaan
Zaman sudah berubah, menerbitkan buku tidak lagi susah. Penerbit
makin banyak bermunculan. Banyak orang dan kalangan berlomba-lomba
menerbitkan buku. Komunitas-komunitas sastra menerbitkan antologi puisi
atau cerpen. Para dosen menerbitkan buku-buku teks atau panduan bagi
mahasiswa,
sekalian menambah poin angka kreditnya. Para pembicara
seminar menulis buku yang berisi materi-materi seminarnya, sekalian
dijual saat mengadakan seminar di berbagai tempat.
Tulisan ini saya buat untuk memberikan gambaran tentang cara-cara
menerbitkan buku — terlepas dari sampai sejauh mana sebuah buku bisa
bermanfaat bagi para pembacanya. Ada tiga cara yang saya kupas dalam
tulisan ini. Dua di antara tiga cara yang akan saya sampaikan, saya rasa
sudah cukup banyak dikenali dan dibahas — walau pembaca yang belum
mengetahuinya mungkin juga ada. Cara ketiga yang bagi saya cukup menarik
dan baru.
Penerbitan Umum (Konvensional)
Penerbitan ini adalah cara yang paling banyak ditempuh oleh penulis.
Para penulis menyerahkan naskah pada penerbit, kemudian menunggu waktu
selama beberapa minggu atau bulan untuk mendapatkan kepastian naskahnya
layak terbit, tidak layak, atau perlu direvisi sebelum terbit. Tiap
penerbit memiliki waktu yang berbeda dalam menilai naskah. Penerbit
Gramedia Pustaka Utama biasanya menilai sebuah naskah selama 2 hingga 3
bulan. Penerbit Bhuana Ilmu Populer melakukannya selama 60 hari.
Penerbit Elexmedia, Dolphin, atau Bentang Pustaka melakukannya dalam
waktu yang lebih pendek, yakni sebulan.
Bila sebuah naskah dinyatakan layak terbit, biasanya penulis diajak
bekerjasama oleh penerbit, dalam hal ini diwakili editor, untuk
merapikan (mengedit) naskahnya, memberikan usul tentang kaver buku, dan
beberapa hal lainnya seputar bentuk buku yang akan dicetak. Penulis juga
akan menerima surat kontrak atau perjanjian tentang hasil yang
diterimanya dari penjualan bukunya.
Ada hasil yang diberikan sekali saja, biasanya dikenal dengan istilah
atau sistem beli putus. Hasil berupa uang ini diberikan penerbit kepada
penulis saat bukunya sudah selesai dicetak dan siap dipasarkan. Salah
satu penerbit yang sering melakukan beli putus ini adalah Diva Press.
Jadi, lewat cara beli putus, dapat dikatakan bahwa penulis menjual
naskahnya yang dibayar secara kontan oleh penerbit.
Ada juga hasil yang diberikan dalam bentuk atau sistem royalti.
Royalti adalah hasil penjualan buku yang diberikan kepada penulis secara
berkala — biasanya 6 bulan sekali. Tiap penerbit memiliki penghitungan
royalti yang berbeda. Ada penerbit yang memberikan royalti 10 persen
dari harga jual sebuah buku kepada penulis, ada yang cuma memberikan 8
persen.
Hal yang perlu diwaspadai oleh penulis adalah kecurangan penerbit
dalam melaporkan jumlah naskah yang dicetak atau laku terjual. Saat
sebuah penerbit memutuskan untuk menerbitkan sebuah naskah dan
mencetaknya sekian ribu eksemplar, umumnya penulis tidak melihat proses
itu secara langsung. Demikian pula dengan jumlah naskah yang laku,
penulis hanya menerima laporannya dan kemudian mendapatkan royalti.
Karena itulah, memilih penerbit yang terpercaya sangat penting.
Penerbitan konvensional juga membutuhkan kegigihan penulis agar
naskahnya bisa diterima penerbit. Penerbit selalu mencari naskah yang
laku dijual, itu intinya. Sebagus apa pun sebuah naskah menurut
penulisnya, tapi bila menurut editor tidak layak jual, naskah akan tetap
ditolak. Faktor-faktor dalam menilai sebuah naskah, apakah layak jual
atau tidak, berbeda pada masing-masing penerbit.
Tapi, tidak semua naskah yang ditolak oleh sebuah penerbit itu buruk. Tidak sedikit editor yang salah menilai sebuah naskah. Harry Potter dan Batu Bertuah yang
ditulis oleh J.K. Rowling pernah ditolak oleh 12 penerbit. Walaupun ada
penolakan, cara menerbitkan buku ini disukai banyak penulis karena
setelah naskah dinyatakan layak terbit, penulis banyak dibantu oleh
penerbit dalam memasarkan naskahnya. Penulis tinggal tahu beres,
mendapat hasil yang diberikan penerbit kepadanya.
Penerbitan Indie (Self Publish)
Seorang penulis buku indie yang pernah banyak membagi ilmunya pada
suatu kesempatan diskusi buku adalah Kirana Kejora. Beberapa tahun lalu,
di Surabaya, ia memiliki kenalan grup-grup band indie dan model. Suatu
ketika, kalau tidak salah tahun 2004, Kirana menulis sebuah buku yang
berisi kumpulan puisi dan novelet. Di antara sekian banyak temannya yang
musisi dan model, tidak ada yang melahirkan karya tulis seperti itu.
Namun, teman-temannya inilah yang berjasa baginya. Mereka banyak yang
mendukung buku karya Kirana, memberi ide untuk mengemas buku itu dengan
menarik, lalu mengadakan launchingbuku itu di sebuah acara musik yang menampilkan band-band indie.
Tak dinyana, buku itu disambut dengan cukup baik. Kirana kemudian
memberanikan diri untuk memasarkan buku-buku itu ke toko buku. Di toko
buku Gramedia, Uranus, dan beberapa toko buku lainnya di Surabaya,
Kirana berjuang agar buku-bukunya bisa terdistribusi lebih luas.
Kirana juga menyampaikan gambaran soal keuntungan penerbitan buku
indie. Misalnya, sebuah buku dicetak dengan biaya Rp15.000. Buku
tersebut bisa dijual dengan harga Rp60.000. Jadi, seorang penulis buku
indie bisa mendapat keuntungan sebanyak tiga kali lipat harga bukunya
bila ia melakukan direct selling, sama sekali tak menggunakan jasa distributor yang memasok buku-buku itu ke toko-toko buku.
Namun, kendala penerbitan secara indie tidak kecil. Pertama, seorang
penulis harus memiliki modal cukup banyak untuk mencetak bukunya
sendiri. Harga cetak sebuah buku bisa menjadi murah bilamana buku
tersebut dicetak paling sedikit 500 buah (dicetak secara offset).
Seseorang bercerita bahwa ia baru saja menerbitkan buku yang dicetaknya
sebanyak 100 buah (dicetak secara Print on Demand, atau PoD). Harga
cetak per buku dengan cara PoD sampai menembus angka Rp26.000, sementara
bila buku itu dicetak sebanyak 500 buah, harga cetaknya hanya sekitar
Rp15.000. Jadi, mencetak 100 buku itu mengeluarkan dana Rp2.600.000
sementara bila mencetak 500 buah akan memerlukan dana Rp7.500.000.
Nah, dari hal itu lahirlah kendala kedua: bila seorang penulis sudah
memiliki dana yang cukup untuk mencetak buku di atas 500 buah, apa yang
harus dilakukannya agar buku tersebut laku terjual? Penulis harus giat
berpromosi lewat segala cara. Tidak lucu rasanya kalau buku-buku
tersebut pada akhirnya harus dibiarkan menumpuk atau dibagi-bagikan
gratis.
Saya belajar dari kegigihan Kirana mengatasi kendala-kendala itu,
terutama kendala kedua. “Seorang penulis indie harus percaya diri,
bahkan kadang harus narsis,” katanya. Bila tidak demikian, memang sulit
meyakinkan orang lain bahwa kita menulis sesuatu yang penting. Sebagai
seorang ibu yang membesarkan kedua anaknya sendirian, tak ayal Kirana
terus memutar otak untuk membuat karya-karyanya bisa diterima
seluas-luasnya. Penulis indie memang harus kuat menjalin jaringan dengan
banyak pihak, pintar mengemas bukunya, pandai memanfaatkan berbagai
peluang dan momentum untuk menyosialisasikan karya-karyanya.
Pada masa kini juga banyak situs yang menyediakan layanan penerbitan buku indie. Bila Anda berkunjung ke situs www.dapurbuku.com, www.bukuindie.com, atau www.nulisbuku.com, di sana bisa dipelajari berbagai langkah yang bisa dilakukan oleh seorang penulis untuk menerbitkan dan memasarkan bukunya.
Penerbitan Kerjasama, Indie dan Konvensional
Hingga kini, saya bersyukur bisa bertemu dengan Pak Agus Wijaya,
seorang dosen di Universitas Surabaya (Ubaya). Dalam pertemuan kami dia
menceritakan tentang usaha penerbitan yang tengah dirintisnya, bernama
Brilian Internasional (www.brilian-internasional.com).
Buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit ini kebanyakan buku teks atau
materi pendukung kuliah yang ditulis oleh dosen. Tapi, pada intinya,
penerbit ini terbuka untuk menerbitkan berbagai jenis buku.
Dari pembicaraan dengan Pak Agus saya mendapatkan wawasan tentang
cara ketiga ini. Cara ketiga ini saya sebut sebagai indie dan
konvensional karena penulis ikut memiliki peran yang besar dalam
penerbitan bukunya, begitu juga penerbit. Mari menyimaknya.
Hal yang unik dari cara ketiga ini adalah penulis ikut menanggung
biaya cetak buku, memiliki kesempatan untuk menjual bukunya sendiri,
tapi bukunya juga dipasarkan di toko-toko buku sehingga tetap
mendapatkan royalti. Pertanyaannya, bagaimana perhitungan tanggungan
biaya cetak, harga jual buku, dan royalti?
Semuanya diawali dari penentuan harga jual buku. Katakanlah, sebuah
buku akan dijual dengan harga Rp50.000. Buku ini nantinya akan dicetak
1300 eksemplar: 1000 dipasarkan di toko buku, 300 diberikan kepada
penulis. Nah, biaya yang ditanggung penulis adalah 60 persen dari 300
buku yang diterimanya (300 x Rp50.000 x 0,6), yaitu Rp9.000.000.
Nah, bila penulis berhasil menjual 300 buku yang menjadi jatahnya, ia
sudah mendapat uang Rp15.000.000 (300 x Rp50.000). Ini berarti penulis
sudah mendapatkan keuntungan Rp6.000.000 dari biaya awal yang
ditanggungnya (Rp.15.000.000 – Rp9.000.000). Dan, keuntungan itu masih
ditambah dengan royalti dari buku yang berhasil dipasarkan oleh pihak
penerbit — yang jumlahnya 1000 buah tadi.
Saya rasa cara penerbitan yang ketiga ini cukup menarik untuk dicoba,
terutama bila penulis sudah memiliki pasar tersendiri bagi bukunya,
seperti para pembicara seminar, dosen, guru, dan lain sebagainya. Saya
menduga, banyak penerbit yang terbuka untuk untuk kerjasama-kerjasama
seperti ini, hanya saja saya belum mengetahuinya.
Demikianlah, sedikit pembahasan tentang tiga cara menerbitkan buku.
Persoalan utama dalam dunia penerbitan yaitu penulis ingin mendapat
pengakuan lewat karyanya yang ditulis dan diterbitkan, sementara
penerbit tidak mau merugi dengan menerbitkan karya-karya yang tidak laku
dijual. Tidak sedikit orang yang ingin menjadi penulis, maka penerbit
pun makin selektif menerbitkan naskah.
Pembahasan singkat ini mungkin akan memperluas wacana Anda tentang
berbagai kemungkinan penerbitan buku. Mungkin Anda akan berpikir:
ternyata, menerbitkan buku itu mudah. Sebagai (calon) penulis, yang
perlu dipikirkan adalah manfaat dan kualitas tulisan Anda bagi pembaca.
Tidak semua tulisan bermanfaat, tidak semua hal perlu ditulis, dan tidak
semua buku perlu dibaca. “Begitu kita sudah memahami tata bahasa,
menulis itu tidak lain adalah berbicara di atas kertas dan, seiring
dengan berjalannya waktu, belajar tentang apa yang tidak perlu kita
katakan,” kata Beryl Bainbridge